UMUMNYA orang memahami masa depan hanya
sebatas usia tua. Tidak heran jika banyak orang mati-matian mengumpulkan uang
sejak muda dengan harapan hidup berlimpah harta di masa tuanya. Bahkan, kalau
perlu kekuasaan tetap berada di tangan keturunannya.
Sekiranya, cara mendapatkannya
halal, tentu tidak mengapa. Persoalannya adalah ketika pengumpulan harta itu
dilakukan dengan cara-cara curang dan haram. Tentu ini suatu kecelakaan besar.
Jangankan di akhirat, di masa tua di dunia pun pasti akan sengsara. Lihatlah
nasib Fir’aun, Haman, Qarun, Namrudz dan yang lainnya.
Seperti jamak diketahui,
sekarang ini demi sebuah posisi atau jabatan, sebagian orang sangat mudah
berjanji dan sering tidak menepatinya tanpa sedikitpun ada penyesalan. Lain di
bibir lain di hati. Di depan orang bertindak
seperti orang baik, di belakang sering mengabaikan perintah agama. Gemar sekali
bermaksiat, menipu, menggunjing, dan menebar berita yang tidak jelas
kebenarannya. Termasuk tidak segan-segan memfitnah saudara sendiri jika
dianggap menghambat perjalanan karir atau mengancam posisinya. Sementara itu,
tradisi yang dibangun setiap hari dan malamnya hanyalah ke kafe, hotel, dugem,
dan pesta-pesta tiada henti. “Semua itu demi masa depan,” dalihnya. Padahal, mengacu pada sumber
hadits Nabi, di akhirat nanti, setiap manusia harus melintasi yang namanya
shirath (jembatan) yang menjadi penentu nasib setiap jiwa bisa masuk surga atau
terjun ke neraka. Oleh karena itu, Ibn Athaillah sangat heran kepada tingkah
laku kebanyakan manusia yang heboh mengejar dunia dan tertawa-tawa seolah telah
peroleh kebahagiaan akhirat. Di depan manusia bertingkah laku baik, di belakang
sering melupakan aturan Allah. Melintasi Shirath
Dalam kitabnya Tajul Arus, Ibn Athaillah berkata, “Kau
tertawa terbahak-bahak seakan-akan telah melewati jembatan (shirath) dan
menyeberangi neraka. Jika kau tidak menjaga sikap wara’ kepada Allah yang bisa
mencegah dari maksiat ketika sendiri, taburkan tanah ke atas kepala sebagaimana
Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Barangsiapa tidak memiliki sikap wara’ yang bisa mencegahnya dari
maksiat ketika sendiri, Allah sama sekali tidak akan memedulikan amalnya.”
(HR. Al-Daylami).
Shirath sebagaimana dijelaskan dalam hadits
Nabi adalah jembatan di atas Jahannam. Dalam shahih Bukhari Muslim disebutkan,
“Jembatan Jahannam dibentangkan dan aku yang pertama kali melewatinya. Doa para
rasul ketika itu adalah: ‘Ya Allah, selamatkan!’ Pada jembatan itu terdapat
jangkar-jangkar seperti duri sa’dan. Tahukah kalian, apakah duri sa’dan itu? Para sahabat menjawab, ya. Beliau melanjutkan, “Ia
bagaikan duri sa’dan, hanya saja tidak ada yang mengetahui besarnya kecuali
Allah. Ia akan menarik manusia sesuai dengan amal perbuatan mereka. ada yang
selamat ada pula yang merangkak kemudian selamat.” (HR. Bukhari).
Jadi, satu hal yang mestinya
menjadi perhatian setiap orang beriman adalah bagaimana kira-kira nasibnya di
akhirat nanti, terutama ketika harus melewati shirath. Karena shirath ini
adalah media penentu dari Allah seseorang masuk surga atau terjungkal ke dalam
neraka.
Sungguh, kita tidak pernah bisa mengetahui, apalagi memastikan, apakah amal
yang kita lakukan termasuk amal yang diterima, jiwa kita adalah jiwa yang
takwa, atau justru masuk kelompok manusia yang celaka. Oleh karena itu, kita patut
bertanya dalam diri, sebagaimana Hasan bin Ali radhiyallahu anhu berkata, “Aku
takut ketika sebagian dosaku terlihat kemudian Allah berkata, ‘Dosamu tidak
diampuni.”
Masa depan manusia yang harus menyeberangi shirath itulah yang kemudian
mendorong Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Seandainya kalian mengetahui apa yang kuketahui,
tentu kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis,” (HR.
Bukhari). Artinya, kita harus
benar-benar mengimani hari akhir, dengan bersegera melakukan segala amal sholeh
dan menjauhi perbuatan yang merusak. Berlomba-lomba menyiapkan bekal takwa
menuju Allah agar kelak mendapat rahmat dari-Nya dan bisa menyeberang di atas
shirath dengan selamat hingga ke surga. Firman-Nya tentang Hari Esok
“Wahai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa
yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hasyr [59]: 20). Ibn Katsir dalam tafsir ayat
tersebut menyebutkan riwayat yang disampaikan oleh Imam Ahmad dari Al-Mundzir
bin Jabir, yang secara inti memaparkan pengalaman Rasulullah melihat suku Mudhar
yang sangat miskin, hingga tak beralas kaki dan tidak berpakaian.
Melihat hal tersebut, kemudian Rasulullah berkhutbah, “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah
yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu (sampai akhir ayat). Lau beliau
membaca ayat tersebut hingga tuntas, kemudian menambahkan, ‘…meskipun hanya
dengan satu belah kurma.” Mendengar khutbah itu,
seorang sahabat Anshar datang membawa satu kantong, hampir saja telapak
tangannya tidak mampu mengangkatnya, bahkan memang tidak mampu. Lalu
orang-orang pun mengikuti sehingga aku melihat dua tumpukan dari makanan dan
pakaian, sehingga aku melihat wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam
berseri-seri bagaikan disepuh emas.
Maka, menurut Ibn Katsir hari esok itu atau masa depan itu hanya tepat jika
kita persiapkan dengan banyak beramal sholeh, bersegera membantu saudara yang
lain yang sangat berhajat terhadap kebutuhan hidup, walau hanya dengan separuh
biji kurma. Kemudian menjauhi seluruh bentuk larangan-Nya. Dengan demikian perbanyaklah
intropeksi diri (muhasabah). Lihatlah apa yang telah kita tabung untuk akhirat
kita sendiri utamanya ketika bertemu dengan Rabb kita semua. Jangan sampai kita
lupakan hal yang sebenarnya tidak lama lagi akan kita jumpai dalam perjalanan
panjang kehidupan akhirat. Mulai sekarang, berhentilah
bergantung pada harta, jabatan, dan kekuasaan. Semua itu tidak akan berarti
apa-apa tanpa iman, takwa dan amal sholeh. Justru siapapun kita, pada dasarnya
sangat berpotensi mendapatkan masa depan yang baik bahkan sangat-sangat baik,
asalkan, senantiasa menjaga dan meningkatkan kualitas takwa kepada-Nya dan
banyak melakukan amal sholeh untuk kemaslahatan bersama.*/Imam Nawawi
Wahai diri,
Tundukkanlah hatimu selalu di hadapan-Nya, pasrahkan jiwamu selalu
kepada-Nya, lihatlah dirimu yang lemah lagi hina itu, pandanglah jasadmu
yang rapuh itu, lihatlah apa yang telah engkau usahakan untuk-Nya, dan
renungkanlah olehmu untuk apa umurmu engkau habiskan selama ini..!
Teruslah engkau bermuhasabah diri dan jangan pernah mel
ewatkannya! Cobalah ambil cermin olehmu untuk melihat gambaran dirimu
dan lihatlah dirimu yang berdiri disana! Pandanglah dengan seksama semua
bagian tubuhmu yang lemah dan fana itu! Pandanglah ia dengan penuh
kerendahan dirimu di hadapan-Nya!
Wahai diri.
kalian adalah bintang....
dan setiap bintang mempunyai cahaya terang tersendiri....
jangan pernah merasa cahayamulah yang paling redup...
tapi banggalah karna kamu masih mempunyai cahaya yang sangat indah...
banyak insan mengagumimu.....
maka jangan pernah merasa kamulah cahaya yang paling redup diantara bintang-bintang lainnya...
Jadilah Bintang yang bercahaya untuk dirimu sendiri dan orang disekitarmu...
Cerita ini
adalah kisah nyata… dimana perjalanan hidup ini ditulis oleh seorang istri
dalam sebuah laptopnya.
Bacalah,
semoga kisah nyata ini menjadi pelajaran bagi kita semua.
***
Cinta itu
butuh kesabaran…
Sampai
dimanakah kita harus bersabar menanti cinta kita???
Hari itu..
aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita..
Aku menjadi
perempuan yg paling bahagia…..
Pernikahan
kami sederhana namun meriah…..
Ia menjadi
pria yang sangat romantis pada waktu itu.
Aku
bersyukur menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan & mapan
pula.
Ketika kami
berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya.
Kami akan
berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran dulu..
Dan setelah
menikah, aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci….
Aku sangat
bahagia dengannya, dan dianya juga sangat memanjakan aku… sangat terlihat dari
rasa cinta dan rasa sayangnya pada ku.
Banyak orang
yang bilang kami adalah pasangan yang serasi. Sangat terlihat sekali bagaimana
suamiku memanjakanku. Dan aku bahagia menikah dengannya.
***
Lima tahun
berlalu sudah kami menjadi suami istri, sangat tak terasa waktu begitu cepat
berjalan walaupun kami hanya hidup berdua saja karena sampai saat ini aku belum
bisa memberikannya seorang malaikat kecil (bayi) di tengah keharmonisan rumah
tangga kami.
Karena dia
anak lelaki satu-satunya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk
mendapatkan penerus generasi baginya.
Alhamdulillah
saat itu suamiku mendukungku…
Ia mengaggap
Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-NYA.
Tapi
keluarganya mulai resah. Dari awal kami menikah, ibu & adiknya tidak
menyukaiku. Aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka,
namun aku selalu berusaha menutupi hal itu dari suamiku…
Didepan
suami ku mereka berlaku sangat baik padaku, tapi dibelakang suami ku, aku
dihina-hina oleh mereka…
Pernah suatu
ketika satu tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, mobilnya
hancur. Alhamdulillah suami ku selamat dari maut yang hampir membuat ku menjadi
seorang janda itu.
Ia dirawat
dirumah sakit pada saat dia belum sadarkan diri setelah kecelakaan. Aku selalu
menemaninya siang & malam sambil kubacakan ayat-ayat suci Al – Qur’an. Aku
sibuk bolak-balik dari rumah sakit dan dari tempat aku melakukan aktivitas
sosial ku, aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan.
Namun saat
ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat di dalam
kamarnya ada ibu, adik-adiknya dan teman-teman suamiku, dan disaat itu juga..
aku melihat ada seorang wanita yang sangat akrab mengobrol dengan ibu mertuaku.
Mereka tertawa menghibur suamiku.
Alhamdulillah
suamiku ternyata sudah sadar, aku menangis ketika melihat suami ku sudah sadar,
tapi aku tak boleh sedih di hadapannya.
Kubuka pintu
yang tertutup rapat itu sambil mengatakan, “Assalammu’alaikum” dan mereka
menjawab salam ku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua
melihatku. Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah
5 hari mata nya selalu tertutup.
·Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang
tangannya erat. Setelah aku menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata
“Assalammu’alaikum”, ia pun menjawab salam ku dengan suaranya yg lirih namun
penuh dengan cinta. Aku pun senyum melihat wajahnya.
·Lalu.. Ibu nya berbicara denganku …
·“Fis, kenalkan ini Desi teman Fikri”.
·Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya
pernah mencintainya, perempuan itu bernama Desi dan dia sangat akrab dengan
keluarga suamiku. Hingga akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Aku pun
langsung berjabat tangan dengannya, tak banyak aku bicara di dalam ruangan
tersebut,aku tak mengerti apa yg mereka bicarakan.
·Aku sibuk membersihkan & mengobati luka-luka di
kepala suamiku, baru sebentar aku membersihkan mukanya, tiba-tiba adik ipar ku
yang bernama Dian mengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin. Dan suamiku
pun mengijinkannya. Kemudian aku pun menemaninya.
·Tapi ketika di luar adik ipar ku berkata, ”lebih baik
kau pulang saja, ada
Anehnya, aku
tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abang harus banyak
beristirahat dan karena psikologisnya masih labil. Aku berdebat dengannya
mempertanyakan mengapa aku tidak diizinkan berpamitan dengan suamiku. Tapi
tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia juga mengatakan hal yang
sama. Nantinya dia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak
berpamitan padanya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya
salah ataupun tidak, suamiku tetap saja membenarkannya. Akhirnya aku pun pergi
meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata.
Sejak saat
itu aku tidak pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah
sakit. Dan aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka
sangat membenciku.
***
Hari itu..
aku menangis tanpa sebab, yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku
takut cintanya dibagi dengan yang lain.
Pagi itu,
pada saat aku membersihkan pekarangan rumah kami, suamiku memanggil ku ke taman
belakang, ia baru aja selesai sarapan, ia mengajakku duduk di ayunan favorit
kami sambil melihat ikan-ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu.
Aku
bertanya, ”Ada apa kamu memanggilku?”
Ia berkata,
”Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang”
Aku
menjawab, ”Ia sayang.. aku tahu, aku sudah mengemasi barang-barang kamu di
travel bag dan kamu sudah memeegang tiket bukan?”
“Ya tapi aku
tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana, aku juga sudah lama tidak
bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan aku akan pulang dengan
mama ku”, jawabnya tegas.
“Mengapa
baru sekarang bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu disana?“, tanya ku
balik kepadanya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia
baru memberitahukan rencana kepulanggannya itu, padahal aku telah bersusah
payah mencarikan tiket pesawat untuknya.
”Mama minta
aku yang menemaninya saat pulang nanti”, jawabnya tegas.
”Sekarang
aku ingin seharian dengan kamu karena nanti kita 3 minggu tidak bertemu, ya
kan?”, lanjut nya lagi sambil memelukku dan mencium keningku. Hatiku sedih
dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan pada nya.
Bahagianya
aku dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang & cintanya walau
terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku.
Aku hanya
bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama suamiku, tapi karena keluarganya
tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu padaku karena suamiku sangat
sayang padaku.
Kemudian aku
memutuskan agar ia saja yg pergi dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran
anggaran rumah tangga kami.
Karena ini
acara sakral bagi keluarganya, jadi seluruh keluarganya harus komplit. Walaupun
begitu, aku pun tetap tak akan diperdulikan oleh keluarganya harus datang
ataupun tidak. Tidak hadir justru membuat mereka sangat senang dan aku pun tak
mau membuat riuh keluarga ini.
Malam
sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluan yang akan
dibawanya ke Sabang, ia menatapku dan menghapus airmata yang jatuh dipipiku,
lalu aku peluk erat dirinya. Hati ini bergumam tak merelakan dia pergi seakan
terjadi sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa
menangis karena akan ditinggal pergi olehnya.
Aku tidak
pernah ditinggal pergi selama ini, karena kami selalu bersama-sama kemana pun
ia pergi.
Apa mungkin
aku sedih karena aku sendirian dan tidak memiliki teman, karena biasanya hanya
pembantu sajalah teman mengobrolku.
Hati ini
sedih akan di tinggal pergi olehnya.
Sampai
keesokan harinya, aku terus menangis.. menangisi kepergiannya. Aku tak tahu
mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka.
Aku harus percaya apada suamiku. Dia pasti akan selalu menelponku.
***
Berjauhan
dengan suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri. Untunglah
aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak terlalu
kesepian ditinggal pergi ke Sabang.
Saat kami
berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuh sakit.
Rahimku terasa sakit sekali seperti di lilit oleh tali. Tak tahan aku menahan
rasa sakit dirahimku ini, sampai-sampai aku mengalami pendarahan. Aku dilarikan
ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemaniku disana. Dokter
memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium 3.
Aku
menangis.. apa yang bisa aku banggakan lagi..
Mertuaku
akan semakin menghinaku, suamiku yang malang yang selalu berharap akan punya
keturunan dari rahimku.. namun aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan
kemudian aku hanya bisa memeluk adikku.
Aku kangen
pada suamiku, aku selalu menunggu ia pulang dan bertanya-tanya, “kapankah ia
segera pulang?” aku tak tahu..
Sementara
suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jika menelponku.
Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku..
Lebih baik
aku tutupi dulu tetang hal ini dan aku juga tak mau membuatnya khawatir selama
ia berada di Sabang.
Lebih baik
nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan cerita padanya. Setiap
hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung…
Sudah 3
minggu suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto-foto kami,
ponselku berbunyi menandakan ada sms yang masuk.
Kubuka di
inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms.
Ia menulis,
“aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulangnya satu hari lagi, aku akan
kabarin lagi”.
Hanya itu
saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak
baik ini. Hari yg aku tunggu pun tiba, aku menantinya di rumah.
Sebagai
seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya
untuk menyambut suamiku pulang, dan nantinya aku juga akan menyelesaikan
masalah komunikasi kami yg buruk akhir-akhir ini.
Bel pun
berbunyi, kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam. Sebelum masuk,
aku pegang tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk
melepaskan sepatu, kaos kaki dan kucuci kedua kakinya, aku tak mau ada syaithan
yang masuk ke dalam rumah kami.
Setelah itu
akupun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa reaksinya..
Masya Allah..
ia tidak mencium keningku, ia hanya diam dan langsung naik keruangan atas,
kemudian mandi dan tidur tanpa bertanya kabarku..
Aku hanya
berpikir, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaan nya sampai aku pun
tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu
yaitu Allah, Sang Maha Pencipta.
Biasa nya
kami selalu berjama’ah, tapi karena melihat nya tidur sangat pulas, aku tak
tega membangunkannya. Aku hanya mengeelus wajahnya dan aku cium keningnya, lalu
aku sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka’at.
***
Aku
mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku melihat dirinya dari balkon
kamar kami yang bersiap-siap untuk pergi. Lalu aku memanggilnya tapi ia tak
mendengar. Kemudian aku ambil jilbabku dan aku berlari dari atas ke bawah tanpa
memperdulikan darah yg bercecer dari rahimku untuk mengejarnya tapi ia begitu
cepat pergi.
Aku merasa
ada yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengan suamiku? Mengapa ia bersikap tidak
biasa terhadapku?
Aku tidak
bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itu juga aku
langsung menelpon kerumah mertuakudan kebetulan Dian yang mengangkat telponnya,
aku bercerita dan aku bertanya apa yang sedang terjadi dengan suamiku. Dengan
enteng ia menjawab, “Loe pikir aja sendiri!!!”. Telpon pun langsung terputus.
Ada apa ini?
Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia kembali
dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan
aku.
Semakin hari
ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya
sebagai seorang suami. Kami hanya berbicara seperlunya saja, aku selalu
diintrogasinya. Selalu bertanya aku dari mana dan mengapa pulang terlambat dan
ia bertanya dengan nada yg keras. Suamiku telah berubah.
Bahkan yang
membuat ku kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan mantan pacarku. Ingin
rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku selalu
ingat.. sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para
istri, itu pedoman yang aku pegang.
Aku hanya
berdo’a semoga suamiku sadar akan prilakunya.
***
Dua tahun
berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku menangis setiap malam, lelah
menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang baru saja berkenalan.
Kemesraan
yang kami ciptakan dulu telah sirna. Walaupun kondisinya tetap seperti itu, aku
tetap merawatnya & menyiakan segala yang ia perlukan. Penyakitkupun masih
aku simpan dengan baik dan sekalipun ia tak pernah bertanya perihal obat apa
yang aku minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah aku
pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir.
Bersyukurlah..
aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru ngaji, jadi
aku tak perlu meminta uang padanya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun
hanya berobat semampuku.
Sungguh..
suami yang dulu aku puja dan aku banggakan, sekarang telah menjadi orang asing
bagiku, setiap aku bertanya ia selalu menyuruhku untuk berpikir sendiri.
Tiba-tiba saja malam itu setelah makan malam usai, suamiku memanggilku.
“Ya, ada apa
Yah!” sahutku dengan memanggil nama kesayangannya “Ayah”.
“Lusa kita
siap-siap ke Sabang ya.” Jawabnya tegas.
“Ada apa?
Mengapa?”, sahutku penuh dengan keheranan.
Astaghfirullah..
suami ku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi kasar, dia membentakku.
Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi antara kami.
Dia
mengatakan ”Kau ikut saja jangan banyak tanya!!”
Lalu aku pun
bersegera mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis,
sedih karena suamiku kini tak ku kenal lagi.
Dua tahun
pacaran, lima tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadi orang asing
buatku. Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto
pernikahan kami, sekarang menjadi dingin.. sangat dingin dari batu es. Aku
menangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak berteriak, tapi aku
tak bisa.
Suamiku tak
suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting
barang-barang. Dia bilang perbuatan itu menunjukkan sikap ketidakhormatan
kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati
penyakitku ini, dalam kesendirianku..
***
Kami telah
sampai di Sabang, aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur
karena terus berpikir. Keluarga besarnya juga telah berkumpul disana, termasuk
ibu & adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini..
Aku dan
suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tua itu, ia
pun langsung keluar bergabung dengan keluarga besarnya.
Baru saja
aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dalam lemari tua yg berada
di dekat pintu kamar, lemari tua yang telah ada sebelum suamiku lahir tiba-tiba
Tante Lia, tante yang sangat baik padaku memanggil ku untuk bersegera berkumpul
diruang tengah, aku pun menuju ke ruang keluarga yang berada ditengah rumah
besar itu, yang tampak seperti rumah zaman peninggalan belanda.
Kemudian aku
duduk disamping suamiku, dan suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak
berani bertanya padanya.
Tiba-tiba
saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atas semuanya,
membuka pembicaraan.
“Baiklah,
karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha”. Neneknya
berbicara sangat tegas, dengan sorot mata yang tajam.
”Ada apa ya
Nek?” sahutku dengan penuh tanya..
Nenek pun menjawab,
“Kau telah bergabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun, sampai saat ini kami
tak melihat tanda-tanda kehamilan yang sempurna sebab selama ini kau selalu
keguguran!!“.
Aku
menangis.. untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina ataukah dipisahkan
dengan suamiku?
“Sebenarnya
kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu.. sebelum kau menikah dengannya.
Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur,dan akhirnya menikahlah ia
dengan kau.” Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang
seperti itu semua.
Aku hanya
bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya.
“Dan aku
dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah berkenalan dengannya”, neneknya masih
melanjutkan pembicaraan itu.
Sedangkan
suamiku hanya terdiam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin aku peluk suamiku
agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian itu.
Neneknya
masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari ucapannya dengan
mimik wajah yang sangat menantang kemudian berkata, “kau maunya gimana? kau
dimadu atau diceraikan?“
MasyaAllah..
kuatkan hati ini.. aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk mendengarnya,
hancur hatiku. Mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku..
Aku selalu
munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau
kayu, mereka
mengira aku sangat bahagia 2 tahun belakangan ini.
“Fish,
jawab!.” Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab.
Aku langsung
memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab
dengan tegas.
”Walaupun
aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi
dengannya melalui bathiniah, untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku
akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami.”
Itu yang aku
jawab, dengan kata lain aku rela cintaku dibagi. Dan pada saat itu juga suamiku
memandangku dengan tetesan air mata, tapi air mataku tak sedikit pun menetes di
hadapan mereka.
Aku lalu
bertanya kepada suamiku, “Ayah siapakah yang akan menjadi sahabatku dirumah
kita nanti, yah?”
Suamiku
menjawab, ”Dia Desi!”
Aku pun
langsung menarik napas dan langsung berbicara, ”Kapan pernikahannya
berlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek?.”
”Baiklah
kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruhnya mengurus KK
kami ke kelurahan besok”, setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit
ke kamar.
Tak tahan
lagi.. air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat, aku buka pintu kamar
dan aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri
disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah dibagi. Sakit.
Diiringi akutnya penyakitku..
Apakah
karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakangan ini?
Aku berjalan
menuju ke meja rias, kubuka jilbabku, aku bercermin sambil bertanya-tanya,
“sudah tidak cantikkah aku ini?“
Ku ambil
sisirku, aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok. Kulihat wajahku,
ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi, rambutku sudah hampir habis..
kepalaku sudah botak dibagian tengahnya.
Tiba-tiba
pintu kamar ini terbuka, ternyata suamiku yang datang, ia berdiri dibelakangku.
Tak kuhapus air mata ini, aku bersegera memandangnya dari cermin meja rias itu.
Kami diam
sejenak, lalu aku mulai pembicaraan, “terima kasih ayah, kamu memberi sahabat
kepada ku. Jadi aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti! Iya
kan?.”
Suamiku
mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan
bertanya kenapa rambutku rontok, dia hanya mengatakan jangan salah memakai
shampo.
Dalam hatiku
bertanya, “mengapa ia sangat cuek?” dan ia sudah tak memanjakanku lagi. Lalu
dia berkata, “sudah malam, kita istirahat yuk!“
“Aku sholat
isya dulu baru aku tidur”, jawabku tenang.
Dalam sholat
dan dalam tidur aku menangis. Ku hitung mundur waktu, kapan aku akan berbagi
suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku.
Aku tak tahu
kalau Desi orang Sabang juga. Sudahlah, ini mungkin takdirku. Aku ingin suamiku
kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan aku atas rasa sayang dan cintanya
itu.
***
Malam
sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku.
Di laptop
aku menulis saat-saat terakhirku melihat suamiku, aku marah pada suamiku yang
telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang sedang tidur pulas,
apa salahku? sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku. Aku
save di
mydocument yang bertitle “Aku Mencintaimu Suamiku.”
Hari
pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar. Aku berdiri
didekat jendela, aku melihat matahari, karena mungkin saja aku takkan bisa
melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama.. lalu suamiku yang telah siap
dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku.
“Apakah kamu
sudah siap?”
Kuhapus
airmata yang menetes diwajahku sambil berkata :
“Nanti jika
ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk kedalam rumah ini,
cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu, lalu ketika kalian masuk
ke dalam kamar pengantin bacakan do’a di ubun-ubunnya sebagaimana yang kamu
lakukan padaku dulu. Lalu setelah itu..”, perkataanku terhenti karena tak
sanggup aku meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menagis meledak.
Tiba-tiba
suamiku menjawab “Lalu apa Bunda?”
Aku kaget
mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk seketika aku langsung menatapnya
dengan mata yang berbinar-binar…
“Bisa kamu
ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?”, pintaku tuk menyakini bahwa kuping ini
tidak salah mendengar.
Dia
mengangguk dan berkata, ”Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda?”, sambil
ia mengelus wajah dan menghapus airmataku, dia agak sedikit membungkuk karena
dia sangat tinggi, aku hanya sedadanya saja.
Dia
tersenyum sambil berkata, ”Kita liat saja nanti ya!”. Dia memelukku dan
berkata, “bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama”.
Kemudian ia
mencium keningku, aku langsung memeluknya erat dan berkata, “Ayah, apakah ini
akan segera berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa Ayah berubah? Aku kangen sama
Ayah? Aku kangen belaian kasih sayang Ayah? Aku kangen dengan manjanya Ayah?
Aku kesepian Ayah? Dan satu hal lagi yang harus Ayah tau, bahwa aku tidak
pernah berzinah! Dulu.. waktu awal kita pacaran, aku memang belum bisa
melupakannya, setelah 4 bulan bersama Ayah baru bisa aku terima, jika yang dihadapanku
itu adalah lelaki yang aku cari. Bukan berarti aku pernah berzina Ayah.” Aku
langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata, ”Aku minta
maaf Ayah, telah membuatmu susah”.
Saat itu
juga, diangkatnya badanku.. ia hanya menangis.
Ia memelukku
sangat lama, 2 tahun aku menanti dirinya kembali. Tiba-tiba perutku sakit, ia
menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku dan ia bertanya, ”bunda baik-baik
saja kan?” tanyanya dengan penuh khawatir.
Aku pun
menjawab, “bisa memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu sudah
mebuatku baik, Yah. Aku hanya tak bisa bicara sekarang“. Karena dia akan
menikah. Aku tak mau membuat dia khawatir. Dia harus khusyu menjalani acara
prosesi akad nikah tersebut.
***
Setelah tiba
dimasjid, ijab-qabul pun dimulai. Aku duduk diseberang suamiku.
Aku melihat
suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu, membuat hati ini cemburu,
ingin berteriak mengatakan, “Ayah jangan!!”, tapi aku ingat akan kondisiku.
Jantung ini
berdebar kencang saat mendengar ijab-qabul tersebut. Begitu ijab-qabul selesai,
aku menarik napas panjang. Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku. Dalam
hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini. Ya… aku kuat.
Tak sanggup
aku melihat mereka duduk bersanding dipelaminan. Orang-orang yang hadir di
acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku dengan tatapan sangat aneh,
mungkin melihat wajahku yang selalu tersenyum, tapi dibalik itu.. hatiku
menangis.
Sampai
dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak mencuci
kakinya. Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan
pernikahan ini?
Sementara
itu Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti aku dahulu,
yang di musuhi.
Malam ini
aku tak bisa tidur, bagaimana bisa? Suamiku akan tidur dengan perempuan yang
sangat aku cemburui. Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukan didalam sana.
Sepertiga
malam pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, lalu aku
melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur disofa ruang tengah. Kudekati lalu kulihat.
Masya Allah.. suamiku tak tidur dengan wanita itu, ia ternyata tidur disofa,
aku duduk disofa itu sambil menghelus wajahnya yang lelah, tiba-tiba ia
memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget.
“Kamu datang
ke sini, aku pun tahu”, ia berkata seperti itu. Aku tersenyum dan megajaknya
sholat lail. Setelah sholat lail ia berkata, “maafkan aku, aku tak boleh
menyakitimu, kamu menderita karena ego nya aku. Besok kita pulang ke Jakarta,
biar Desi pulang dengan mama, papa dan juga adik-adikku”
Aku menatapnya
dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur
ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya
Allah.. apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku
sekarang ini, karena aku telah merasakan kehadirannya saat ini. Tapi.. masih
bisakah engkau ijinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah
hilang selama 2 tahun ini..
Suamiku
berbisik, “Bunda kok kurus?”
Aku menangis
dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan.
Aku pun
berkata, “Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi?”
”Aku kangen
sama kamu Bunda, aku tak mau menyakitimu lagi. Kamu sudah sering terluka oleh
sikapku yang egois.” Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu.
Lalu suamiku
berkata, ”Bun, ayah minta maaf telah menelantarkan bunda.. Selama ayah di
Sabang, ayah dengar kalau bunda tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti
mengejar sesuatu, seperti mengejar harta ayah dan satu lagi.. ayah pernah
melihat sms bunda dengan mantan pacar bunda dimana isinya kalau bunda gak mau
berbuat “seperti itu” dan tulisan seperti itu diberi tanda kutip (“seperti
itu”). Ayah ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung dan ayah berpikir kalau
bunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah, terus ayah dimarahi
oleh keluarga ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda”
Hati ini
sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan di dirinya,
hanya karena omongan keluarganya yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku
mencintai pasangan seumur hidupku ini.
Aku hanya
menjawab, “Aku sudah ceritakan itu kan Yah. Aku tidak pernah berzinah dan aku
mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa aku
memilih kamu? Padahal banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu Yah. Jika
aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena
menderita mencintaimu.“
Entah aku
harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian dikamar pengantin
itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya
beserta sikap keluarganya juga.
Karena aku
tak mau mati dalam hati yang penuh dengan rasa benci.
***
Keesokan
harinya…
Ketika aku
ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku sakit sekali..
aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan main, ia langsung
menggendongku.
Aku pun
dilarikan ke rumah sakit..
Dari
kejauhan aku mendengar suara zikir suamiku..
Aku
merasakan tanganku basah..
Ketika
kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran.
Ia
menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan, ”Bunda, Ayah minta maaf…”
Berkali-kali
ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku?
Aku berkata
dengan suara yang lirih, ”Yah, bunda ingin pulang.. bunda ingin bertemu kedua
orang tua bunda, anterin bunda kesana ya, Yah..”
“Ayah jangan
berubah lagi ya! Janji ya, Yah… !!! Bunda sayang banget sama Ayah.”
Tiba-tiba
saja kakiku sakit sangat sakit, sakitnya semakin keatas, kakiku sudah tak bisa
bergerak lagi.. aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihat wajahnya
yang tampan, berlinang air mata.
Sebelum mata
ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengan kalimat tahlil.
Aku bahagia
melihat suamiku punya pengganti diriku..
Aku bahagia
selalu melayaninya dalam suka dan duka..
Menemaninya
dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah.
Aku bahagia
bersuamikan dia. Dia adalah nafasku.
Untuk Ibu
mertuaku : “Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampai aku hidup
didalam hati anakmu, ketahuilah Ma.. dari dulu aku selalu berdo’a agar Mama
merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku, apa
engkau punya buktinya Ma? Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma? Fikri tetap
milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari dulu aku
selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci
diriku. Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku menantumu kau bersikap
sebaliknya.”
***
Setelah ku
buka laptop, kubaca curhatan istriku.
========================================
=============
Ayah,
mengapa keluargamu sangat membenciku?
Aku dihina
oleh mereka ayah.
Mengapa
mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu?
Pernah suatu
ketika aku bertemu Dian di jalan, aku menegurnya karena dia adik iparku tapi
aku disambut dengan wajah ketidaksukaannya. Sangat terlihat Ayah..
Tapi ketika
engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia memanggilku dengan
panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu ayah?
Aku tak bisa
berbicara tentang ini padamu, karena aku tahu kamu pasti membela adikmu, tak
ada gunanya Yah..
Aku diusir
dari rumah sakit.
Aku tak
boleh merawat suamiku.
Aku cemburu
pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku.
Tiap hari ia
datang ke rumah sakit bersama mertuaku.
Aku sangat
marah..
Jika aku
membicarakan hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela Desi dan
ibunya..
Aku tak mau
sakit hati lagi.
Ya Allah
kuatkan aku, maafkan aku..
Engkau Maha
Adil..
Berilah
keadilan ini padaku, Ya Allah..
Ayah sudah
berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku..
Aku berusaha
untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja-manja lagi padamu..
Aku kuat
ayah dalam kesakitan ini..
Lihatlah
ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku..
Aku bisa
melakukan ini semua sendiri ayah..
Besok
suamiku akan menikah dengan perempuan itu.
Perempuan
yang aku benci, yang aku cemburui.
Tapi aku tak
boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku.
Aku harus
sadar diri.
Ayah,
sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu.
Mengapa
harus Desi yang menjadi sahabatku?
Ayah.. aku
masih tak rela.
Tapi aku
harus ikhlas menerimanya.
Pagi nanti
suamiku melangsungkan pernikahan keduanya.
Semoga saja
aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku.
Aku ingin
sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir.
Sebelum ajal
ini menjemputku.
Ayah.. aku
kangen ayah..
========================================
=============
Dan kini aku
telah membawamu ke orang tuamu, Bunda..
Aku akan
mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi di Pulau Kayu ini.
Aku akan
selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan
hatimu yang sakit tertusuk duri.
Bunda tetap
cantik, selalu tersenyum disaat tidur.
Bunda akan
selalu hidup dihati ayah.
Bunda.. Desi
tak sepertimu, yang tidak pernah marah..
Desi sangat
berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak pernah di
creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya.
Ayah
menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku tak perduli,
hidup dalam kesendirianmu..
Seandainya
Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin ayah masih bisa tidur dengan belaian
tangan Bunda yang halus.
Sekarang
Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda..
Bunda, kamu
wanita yang paling tegar yang pernah kutemui.
Aku menyesal
telah asik dalam ke-egoanku..
Bunda..
maafkan aku.. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat di tidurmu yang
panjang.
Maafkan aku,
tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu, aku selalu meng-iyakan apa kata
ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka. Maafkan aku ketika kau di fitnah
oleh keluargaku, aku percaya begitu saja.
Apakah Bunda
akan mendapat pengganti ayah di surga sana?
Apakah Bunda
tetap menanti ayah disana? Tetap setia dialam sana?
Tunggulah
Ayah disana Bunda..
Bisakan?
Seperti Bunda menunggu ayah di sini.. Aku mohon..